Blitar Tradisi. Kyai Pradah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT berkat limpahan rahmat,taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul “Sejarah Terjadinya Tradisi Gong Kyai Pradah di
Lodoyo” . Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang di mata kuliah
Pengantar Ilmu Sejarah
Penyelesaian
makalah ini tidak luput dari semua pihak untuk itu saya mengucapkan banyak
berterima kasih kepapa Bapak Prof.Dr.Hariyono,M.Pd selaku dosen yang saya
hormati dan pembimbingan yang diberikan kepada saya. Juga semua pihak yang
terkait dalam pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa sepenuhnya dalam
penyusunan Makalah ini masih banyak kekurangan,karena keterbatasan pengetahuan
dan sumber-sumber pengembangan ,untuk itu kritik dan saran bagi saya supaya
tercapai makalah yang berkualitas. Khususnya bagi saya sendiri dan pembaca.
Demikian saya ucapkan terima kasih.
Malang,
November 2012
BAB I
Pendahuan
1.1. Latar Belakang
Dalam makalah ini menceritakan
bagimana keadaan daerah lodoyo pada masa lampau dan mengambarkan terjadinya
atau asal usul Gong kyai Pradah yang diangkat sebagai agenda resmi dalam
tradisi siraman. Khususnya di daerah Lodoyo Kecamatan Sutojayan kabupaten
Blitar.
Siraman Gong Kyai Pradah merupakan
suatu bukti tradisi yang hingga saat ini, masih di perrtahankan bahkan
dijadikan kewajiban di masyarakat Lodoyo untuk menggikutinya. Karena masyarakat
sekitar sudah melekat dengan sejarah dari
Gong Kyai Pradah ini, dan dipercaya dari hari penyiraman itu
menghasilkan berkah yang melimpah misalnya: Apa bila pada hari penyiraman
membangun suatu usaha, usaha itu akan lancar. Dan juga percikan air dari
siraman itu dipercaya sebagai obat awet muda adapun sebagai penyembuh beberapa
penyakit.
Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah ini
sudah dikenal oleh masyarakat luas, dan tradisi ini akan dilaksankan setiap
tahun dan mempertahankan tradisi juga nilai-nilai luhur yang ada di semua
prosesi keagamaan.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Keadaan Daerah Lodoyo Waktu Sebelum Menjadi pendesaan.
2. Bagaimana
Terjadinya Gong Kyai Pradah.
3. Bagaimana
Tradisi Gong Kyai Pradah Dilaksanakan.
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui situasi keadaan daerah Lodoyo sebelum hutan-hutan dibabat dan juga
setruktur keadaan alam yang ada dihutan lodoyo sebelum menjadi desa seperti
sekarang ini.
2. Untuk
mengetahui asal-usul dan alur cerita yang terjadinya Gong Kyai Pradah dan
sampai dinamakan Gong Macan atau Gong Kyai Pradah.
3. Untuk mengetahui tradisi Gong Kyai Pradah dan
antusias masyarakat menyabut datangnya maulud nabi yang bertepatan dengan acara
siraman Gong.
1.4. Metode Sejarah
1)
Pemilaihan
topik
Alasan
saya memilih topik “Sejarah
Terjadinya Tradisi Gong Kyai Pradah Di Lodoyo”. Ini dikarenakan budaya siraman
merupakan tradisi, Masyarakat Lodoyo yang mengangap suatu yang tidak bisa
ditinggalkan. Sebab ini Lodoyo dikenal di beberapa kalanggan luar. Dan juga
untuk memperingati lahirnya Nabi Mohammad SAW, karena ketetapan dengan maulid
Nabi.
2)
Heuristik
Data yang saya peroleh, dari beberapa sumber yang
pertama dari buku, internet dan wawancara
juga sepengetahuan saya yang setiap tahun juga mengikuti prosesi
penyiraman Gong Kyai Pradah.
3)
Kritik
Untuk
kepercayaan jangan lah percaya terhadap benda-benda pusaka karna itu bisa menyebabkan
orang menjadi syirik. Itu dapat kita percayaai terhadap hal-hal gaib tetapi
jangan meminta bantuan terhadap benda-benda itu dan juga pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan yang perluh di evaluasi sebab itu kritik dan saran
tentang makalah ini sangat membantu.
4)
Interpretasi
Kyai
Pradah merupakan sebutan dari sebuah Gong yang dikeramatkan dan di percaya oleh
masyarakat sekitar karena sejarah dari pusaka Gong kyai Pradah tersebut. Dari
penyiraman pusaka itu dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit, dan
dipercaya dapat menjadikan awet muda apabila air dari siraman Gong itu dibasuh
dimukan juga dapat memberikan rezeki yang melimpah apabila benda bekas atau
bunga siraman itu dibawa pulang dan dijadikan sebagai jimat.
5)
Histiografi
Bab
1 tentang pendahuluan yang berisi
·
Latar belakang: Berisi
tentang asal usul Kyai pradah sampai dijadikan tradisi oleh masyarakat sekitar.
·
Rumusan masalah: Alur
kejadian dan pemugaran daerah lodoyo yang dikaitkan oleh mistik dan kesaktian
Pusaka Gong Kyai Pradah yang membabat hutan Lodoyo yang hingga menjadi
pedesaan.
·
Tujuan: tujuan makalah
ini seperti disebutkan di atas tadi.
·
Metode : Seperti yang
ditunjukan di atas tadi berupa sumber-sumber yang mengacu tentang Tradisi Kyai
Pradah.
·
Bab II Sejarah Terjadinya Tradisi Gong Kyai
Pradah Di Lodoyo
-
Bagaimana Keadaan Daerah Lodoyo Waktu Sebelum Menjadi pendesaan
- Bagaimana Terjadina Gong Kyai Pradah
-
Bagaimana Tradisi Gong Kyai Pradah
Dilaksanakan
·
Bab III : Penutup
-Kesimpulan
dan Saran
BAB
II
2. Pembahasan
2.1 Bagaimana Keadaan
Daerah Lodoyo Waktu Sebelum Menjadi pendesaan.
Keadaan daerah Lodoyo saat itu
berupa perbukitan yang sangat luas, juga lebat dikelilingi beberapa sungai.
Maka dari itu tanah disana sangat subur dan banyak mengandung unsur hara karena
banyak pepohonan yang sangat lebat.
Menurut warga sekitar sebelum Lodoyo menjadi ramai seperti sekarang,
tempo dulu adalah hutan yang berbukit-bukit yang luas. Tidak ada satupun yang
menghuni hutan Lodoyo. Kerana wilayah hutan lodoyo ini dataran rendah yang
dikelilingi bukit-bukit pada waktu hujan hutan-hutan itu menjadi rawa yang
terjadi pada waktu lama. Itu mengakibatkan banyak pepohonan yang berbatang
besar.
Di beberapa mitos-mitos yang ada
dalam hutan Lodoyo waktu dulu banyak hal-hal gaib yang ada di hutan. Itu
disebapkan kelebatan pepohonan yang menjulang tinggi dan dedaunan yang rekat
satu sama lain. Sinar matahari pun tidak bisa menenbus sampai tanah, sebab itu
banyak yang beranggapan kalau di hutan itu banyak mesteri gaib yang sangat
kuat.
Lodoyo, saat itu dikenal dengan
sakti karna magis yang di timbulakan oleh hutan itu, sekarang pun banyak
masyarakat Lodoyo yang mempunyai kelebihan yang orang-orang biasa tidak punya.
Saat itu hujan tidak kunjung reda. Maka hutan Lodoyo terendam seperti rawa yang
airnya terus mengenang, Kejadian itu menyebapkan suburnya tanah dan
habitat-habitat disana tumbuh dengan drastis.
Diwaktu itu masih banyak binatang
buas yang berada di hutan. Selain itu banyak hewan besar. Ddan menurut cerita
pada waktu Lodoyo terendam air yang berkelanjutan hari. Ada ular besar yang
menyebrang dari bukit satu kebukit lain. Konon itu adalah ular jelmaan yang
melindungi hutan lodoyo, itu salah satu cerita dari masyarakat sekitar dan
cerita itu membuktikan betapa anggkernya daerah lodoyo pada waktu tersebut.
Asal usul nama Lodoyo itu di berikan
oleh Pangeran Prabu yang membabat hutan Lodoyo itu. Ini tidak sengaja terjadi
karena di saat Sang Prabu istirahat didekat pohon low dan pusaka yang di bawa
di sangkutkat dipohon low karena pohon low tidak kuat menahan beban yang ditimpa
oleh Pusaka Gong Kyai Pradah pohon itu menjadi doyong (miring) maka dari pohon
itu disebutkan low doyong. Serapan itu sekarang di katakan sebagai Lodoyo[1].
Cerita ini tergolong legenda dan terkenal dimasyarakat luas dan dipercayaai
masyarakat[2].
2.2 Bagaimana
Terjadinya Gong Kyai Pradah
Dalam cerita disebutkan pada tahu
1704 M di Surakarta yang dinobatkan Kartasura
bertahta Raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1, Saudara mempunyai
saudara atau selir ayahnya yang bernama Pangeran Prabu. Ketika Pangeran Prabu mendengar itu, akhirnya sakit hati dan ingin
membunuh Susuhunan Pakubuono 1, karena
semua rencana dan perbuatan ketahuan maka dari itu Pangeran Prabu di hukum untuk
menembus kesalahannya untuk menebang kayu hutan Lodoyo. Ketika Itu hutan Lodoyo
dikenal angker (wingit) dan banyak dihuni binatang buas. Untuk dijadikan
Pendesaan, pasti didalam hutan itu banyak roh roh dan rintangan yang menunggu
hutan itu sendiri.
Semua itu dimaksudkan untuk
mendesakan daerah itu supaya Pangeran prabu dimangsa oleh binatang buas atau
hal yang lain agar sang Pangeran Prabu mati. Dalam perginya Pangeran Prabu
tidak sendirian, didampingi oleh istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat
Tariman. Untuk menolak balak atau untuk melindungi diri dari gangguan hewan dan
roh-roh di dalam hutan yang wingit itu maka Pangeran Prabu membawa pusaka
“Bende” yang di beri nama kyai Bicak. Pusaka ini dikatakan sakti karena pernah
menahklukan Ki Ageng Mangir yang kesaktiaanya tidak diragukan lagi. Mereka
berangkat dari Surakarta dan berjalan ketimur menuju ke dalah hutan Lodoyo.
Didalam perjalananya diwarnai dengan kesedihan yang mendalam penderitaan itu
sebagai pendorong untuk segera dating ketempat
tujuan yang memakan waktu yang lama. Di dalam perjalanan mereka dating
ketempat janda yang beernama Nyi Partosuto di hutan Ngekul.
Kesedihan yang dirasakan oleh
Pangeran Prabu belum dapat disembuhkan, Untuk menghilangkan kesedihan itu
Pangeran Prabu diam sejenak dan berdoa kiranya hanyalah Tuhan kiranya bisa
menyembukan kesedihan dan penyesalan atas perbuatan yang keji itu sampai di
hukum berjalan dan menebang hutan di Lodoyo. Dengan itu Pangeran Prabu
melanjutkan perjalalan guna mencari jawaban ilham Allah, Sebelum berangkat
pusaka kyai Bicak ditinggalkan di nyengkul kediaaman Nyi Partosuto. Karna
perjalanan yang jauh dan medan yang sangat rawan di kala itu hutan-hutan sangat
lebat. Sang Pangeran Prabu memberikan amanat kepada Nyi Partosuto dengan pesan:
1. Agar
setiap tanggal 12 Raibul Awal dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman
dan diborehi ini bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan airnya harus
jernih dan suci.
2. Dikatakan
pula bahwa air bekas siraman kyai Bicak dapat dipakai untuk menyembuhkan orang
sakit dan apabila buat cuci muka akan awet muda juga untuk menentramkan hati.
Dibeberapa waktu
berpencarlah dengan Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu, yang menyebapkan Ki
Amat Tariman kebingungan mencari majikannya. Dengan kebingangannya Ki Ahmat
Tariman memukul pusaka itu sebanyak tujuh kali yang mengangap akan terdengan
oleh Pangeran Prabu. Bukan pangeran prabu yang datang melaikan segrombolan
macan yang mengelilingi pusaka itu. Tetapi macan itu bukan mau memakan Ki Ahmat
Tariman melainkan untuk menujukan jalan untuk bertemu dengan Pangeran Prabu,
dari kejadian itu Pusaka itu dinamakan kyai Macan atau Kyai Pradah.
Ketika ketemu mereka berjalan menuju
kebarat kehutan Pakel. Disitulah Pangeran Prabu bertapa untuk meminta petunjuk
kepada Tuhan, beberapa saat bertapa sang Pangeran Prabu belum juga bisa
menghilangkan rasa kesedihanya itu, maka dari itu Pangeran melepaskan semua
baju tahta kerajaanya dan lain-lain di pesanggraan Pakel. Tempat tersebut
hingga kini masih dipercaya keramat oleh masyarakat sekitar. Setelah itu mereka
meningalkan Pakel tidak beberapa jauh bertemulah dengan prajuri utusan kerajaan
Surakarta. Pertemuan itu menimbulakn pertikaian dan perselisihan akhirnya
perperangan tidak bisa dielakan. Karena utusan itu hanya prajurit-prajurit
akhirnya Pangeran Prabu berasil menumpaskan dengan mudah. Meskipun itu Pangeran
tetap waspada didalam perjalanan mereka, namun dibeberapa bulan tidak ada lagi
prajurit dari Surakarta yang datang. Setelah itu mereka meneruskan ke hutan
Keluk (yang sekarang dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo barat). Ditempat ini
sang Pangeran memotong rambutnya dan melepas Mahkotanya, dan ditanamkan di
situ. Hingga sekarang tempat ini dinyakini menjadi keramat. Ada hal yang
mengharukan karna istri Pangeran prabu
sedang hamil tua dan melahirakan di bukit, si jabang bayinya mati. Akhirnya
dikuburkan di tempat itu juga, tempat ini juga di keramatkan oleh masyarakat
sekitar hingga kini.
Perjalanan diteruskan ke timur
menyusuri pinggiran sungai Brantas melalaui Hutan Jegu, Gondanglebi, Tawangrejo
dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di sinilah Pangeran Prabu dan pengikutnya
berteduh dari terik matahari dan hujan, untuk beberapa bulan. Tempat inilah Nyi
Wandasari hamil lagi dan melahirakn 2 anak kembar. Karena tidak adanya tempat
bersalinan di bukit maka kedua bayi itu tidak bisa bertahan lama sehingga bukit
ini dijuluki bukit piranti. Disinilah riwayat Panggeran Prabu berakir dan tidak
diketahui lagi kisah perjalanannya.
Sepeninggal Nyi Partosuro,
Pemiharahaan Gong Kyai pradah diserahkan pada:
1. Ki
Hadiboyo (di desa Ngekul)
2. Ki
Dalang Redi guno (di desa Kepek)
3. Kyai
Imam Suparno (kerena beliau dipanggil kesurakarta maka Gong diserahkan kepada
adiknya)
4. Kyai
imam Seco (adiknya Kyai Imam Suparno dari desa Sukoanyar)
5. Raden
Ronggo Kertarejo (di desa Kalipang)
6. Mbah
Palil (di kelurahan Kalipang hingga sekarang)
Pusaka
itu hingga sekarang masih dijadikan benda yang keramat dan dimandikan seperti
amanat sang Pangeran Prabu. Dan di saksikan oleh ribuan orang juga dijadikan
tradisi hingga saat ini.
2.3 Bagaimana
Tradisi Gong Kyai Pradah Dilaksanakan
Dalam upacara penyiraman dimaksudkan
untuk sarana memohon berkah kepada Allah atau leluhur yang ada di dalam Kyai
Pradah. Mereka percaya bahwa percikan dari siraman Gong Kyai Pradah itu dapat
menyembuhkan beberapa penyakit. Dan awet muda, juga disaat waktu penyiraman
adalah waktu yang tepat untuk membeli alat-alat perkerjaan ini di percaya akan
menghasilakan banyak keuntungan misalnya membeli cangkul ini dipercaya di dalam
pertanian akan menghasilkan panen yang melimpah dan terbebas dari hama, begitu
pula dengan pedagang.
Kebanyakan mereka yang datang dari
luar daerah Lodoyo, karna banyak hiburan yang di sajikan dalam prosesi
penyiraman kyai Gong Pradah. Untuk masa sekarang upacara lebih dimaksukan
sebagai usaha melestarikan budaya bangsa, dimana upacara siraman Kyai pradah
merupakan naluri masyarakat Lodoyo turun-temurun yang tidak dapat dihapus
karena warga Lodoyo sudah mengangap semua itu sebagai tradisi yang tiap tahun
harus dilaksanakan dan juga dilestarikan. Pelaksanaan upacara siraman Kyai
Pradah dipusatkan di alun-alun kawedanan Lodoyo dan di tempat itu disiapkan
tempat pangung yang disiapkan permanen yang sudah dicor seperti monumen. Panggung siraman setinggi tiga meter dengan
luas kurang lebih enam belas meter persegi, dan sanggar penyimpanan, serta
pendopo kawedanan, Sanggar penyimpanan adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah
juga alat-alat pewayangan seperti kenong dan wayang krucil, tempat yang mana
pengunjung menyampaikan hajatnya pada hari-hari biasa. Pada waktu upacara
tempat ini dijadikan berkumpulnya para warga untuk slametan, Ziarah dilakukan
di patilasan yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten
Blitar.
Upacara siraman kyai Pradah
dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu bertepatan dengan lahirnya Nabi
mohammad atau maulud Nabi dan tanggal 1 Syawal bertepatan dengan hari raya idul
Fitri. Untuk penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara diadakan secara
besar-besaran, sedangkan untuk 1 Syawal dilaksananakan dengan sederhana.
Upacara siraman berlangsung dua hari, pembentukan panitia dilakukan jauh-jauh
hari sekitar 20 hari sebelum puncak upacara, sehari menjelang acara puncak pada
siang hari dimulainya menghias tempat acara
dan dilanjutkan dengan pemotonggan kambing sbagai wujud syukur juga buat
sesaji upacara itu. Semalam sebelum prosesi siraman diadakan selamatan atau
genduri dan juga tirakat agar untuk mepelancar hari siraman gong kyai pradah.
Untuk pagi hari dilakukan ziarah ke dukuh Dadapan barulah puncak siraman
dilakukan. Setelah siraman dilaksanakan hiburan yang memamerkan keseniaan
daerah Lodoyo.
Dulu
upacara ini hanya dilakukan dengan sponton yang dilakukan sama warga Lodoyo
saja, dengan di koordinasi para kepala desa di kecamatan Sutojayan dan para
tokoh-tokoh di daerah tersebut. Namun sekarang yang sudah dikenal di masyarakat
luas maka dari itu pemerintah tingkat II Kabupaten Blitar yang mengkoordinasi
dan panitia penyelenggaraan teknis upacara tersebut adalah:
1. Penjabat
pemerintah.
2. Juru
Kunci, petilasan dari juru kunci yang terdahulu.
3. Para
Dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang
krucil[3].
4. Petugas
mebawa panji-panji kawedanan Lodoyo dan paying
5. Pemain
kesenian tradisional dan pemasak sesaji
2.3.1 Tahap-Tahap
Menurut Jalannya Upacara
Tanggal 11 Awal sanggar penyimpanan,
panggung siraman, serta penyembelihan kambing untuk sesaji yang dihias dengan
hasil-hasil panen sehingga menanambah meriah, panggung pun dihias dengan
dedaunan seperti janur, beringin, andong
serta daun langsuran. Setelah acara menghias dan selesai penyelembihan hewan
kambing yang diambil kepala dan jerohan saja yang bungkus untuk dijadikan
sesaji ziarah. Di dalam pembuatan sesaji yang dikoordinir oleh juru kunci Kyai
Pradah yang dibantu oleh para ibu yang tidak datang bulan, semua sesaji itu
harus dirinci secara teliti karena kepenuhan sesaji akan mensukseskan prosesi
siraman. Karena kurang lengkapnya dapat menimbulkan hal-hal yang tidak di
inginkan. Sesaji ini adalah sesaji untuk sanggar penyimpanan, sesaji selamatan
, sesaji selamata, sesaji ziarah, dan sesaji siraman. Di malam tirakat inilah
pengunjung menyampaikan hajadnya melalui juru kunci Kyai Pradah. Ini pada
tanggal 11 Rabiul Awal, Setelah menyampaikan keinginan disampaikan mereka
berhajad dengan menaburi bunga telon di atas Gong Kyai Pradah. Kemudian bunga
itu di bawa pulan untuk dijadikan sebagai jimat.
Malam tirakatan diisi dengan
berjanjen yaitu pembacaan puji-pujian yang berisi dengan doa-doa terhadap tuhan
diiringi instrument jedhoren. Ini banyak dikunjungi yang sengaja datang untuk
bertirakat, atau mengunjungi pasar malam juga mencari tempat yang setrategis
untuk upacara penyiraman Gong kyai Pradah. Keesok harinya setelah tirakat
terakir pada pukul 07.30 WIB tanggal 12 Raibul Awal, pintu sanggar penyimpanan
dibuka, payun, pedupaan, sesaji ziarah dikeluarkan untuk dibawa kepetilasan.
Sesaji yang berupa kepala kambing dan jerohan digendong oleh juru kunci yang
dipayungi oleh petugas pengiring menuju kepetilasan. Mereka adalah segerombolan
Kuda Lumping Dadak Merak yaitu kesenian yang ada di Lodoyo dan juga diiringi
oleh para dhalang dan para kepala desa yang ada di Kecamatan Sutojayan.
Sesampainya kepetilasan, sesaji di
serahkan kepada juru kunci Kyai Pradah. Sesaji yang di bawa itu kemudian
ditanam oleh juru kunci dan dimasukan kedalam kain sebagai tumbal, yang
berkaitan dengan hilangnya Kyai pradah pada tahun 1907. Gong kyai Pradah pernah
di curi oleh seeorang yang tergangu jiwanya. Setelah hilang para warga dan
beberapa petugas yang mencari pusaka itu, dan akhirnya ketemu lagi, dan orang
itu ditangkap. Karena di dukuh Dadapan maka tempat ini dijadikan petilasan yang
juga dipercaya oleh masyarakat sekitar menjadi tempat yang dianggap keramat.
Bapak
Bupati dan Bapak Camat Sutojayan, juru kunci Kyai Pradah siap-siap prosesi siraman Kyai Pradah Pusaka itu diarak
mengeliling alun-alun yang di pikul oleh para kesenian daerah Lodoyo. Setelah
bapak Bupati dan para kepala Desa sampai ke pendopo. Kyai pradah di gantungkan
di tengah-tengah pendopo. Dibawah gantungan tersebut diletakan bak agar
menanampung percikan air bekas siraman, kain pembukus pun dilepas. Maagsyarakat
rela saling berdesakan hanya untuk merebutkan air, bunga setaman atau apa saja
yang benda bekas untuk mencuci pusaka tersebut. Mereka mempercayai jika
barang-barang maupun air tersebut mempunyai tuah, bisa digunakan untuk mengobati
penyakit serta membuat awet muda. Salah satu warga yang mempercayai hal
tersebut adalah poniyem, warag desa Bacem kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar.
Wanita tersebut mengaku setiap kali ritual ini dilaksanakan dirinya selalu
hadir dan ikut berebut air maupun benda-benda lain bekas untuk mencuci Pusaka
kyai Pradah.
Selesai pembacaan riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali
dilakukan oleh Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat
Muspika, juru kunci dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan
kembang setaman agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian
dipercik-percikkan ketujuh tempayan yang telah diisi air.
Setelah Kyai Pradah selesai disirami, maka Bapak Bupati
segera mengguyurkan air yang ditempayam ke para pengunjung yang
berdesak-desakan di bawah panggung siraman sampai habis. Demikian halnya yang
di at as panggung pun saling berebut mendapatkan air bekas siraman.Selain Kyai
Pradah, di dalam upacara siraman dimandikan pula empat buah wayang krucil dan
dua buah kenong. Selesai disirami, Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil
dikeringkan dengan lap khusus.Sampailah saat yang dinanti-nantikan, Kyai Pradah
pun ditabuh oleh Bapak Bupati diperdengarkan kepada pengunjung. Setiap kali
mepabuh, Bapak Bupati bertanya: “Kados pundi suantenipun ?” dijawab para
pengunjung “sae”, yang dalam bahasa Indonesianya : “Bagaimana suaranya?”
dijawab “bagus” . Demikian itu dilakukan tuju kali berturut-turut. Menurut
kepercayaan, apabila bunyi Kyai Pradah mengaung-ngaung bergema ke segala
penjuru, dianggap sebagai pertanda bahwa upacara berjalan sempurna. Masyarakat
boleh berharap berkah akan melimpah di dalam kehidupan mereka, sehingga dapat
tenang hidupnya. Namun, apabila terdengar bunyinya tersendat-sendat, maka
masyarakat menjadi tidak tenteram, karena akan datang saat sial atau keadaan
yang tidak menyenangkan kehidupan mereka.
Sesudah Kyai Pradah diperdengarkan suaranya kemudian diberi
boreh. Demikian juga wayang krucil dan kenongnya. Kyai Pradah pun dibungkus
kembali dengan kain mori putih yang masih baru. Dengan digendong juru kunci dan
iringiringan seperti ketika menuju panggung siraman, Kyai Pradah dibawa kembali
menuju sanggar penyimpanan. Tepat di depan pendopo, Bapak Bupati keluar dari
barisan. Kyai Pradah disemayamkan kembali dengan posisi mendatar. Demikian pula
wayang krucil dan kenong dimasukan ke dalam tempatnya semula. Kyai Pradah
kemudian ditaburi dengan bunga tabur dan pintu sanggar penyimpan ditutup
kembali[4].
Kyai Pradah disemayamkan, diadakan lagi selamatan sebagai
ungkapan syukur karena pacara telah berjalan dengan lancar. Seperti asalnya
pada selamatan tirakatan, pada selamatan kali inipun para pengunjung berusaha
mendapat sesaji untuk dijadikan jimat atau obat jika ada anggota keluarganya yang
sakit. Upacara Siraman Kyai Pradah diakhiri dengan hiburan berupa tari
gambyong, tari tayub, dan ringgit purwo pada malam harinya. Hiburan ini tidak
ada batasan waktunya, hanya mengingat penyelenggara sebagian besar bekerja di
instansi pemerintah, maka hiburan dibatasi waktunya. Meskipun begitu, para
pengunjung tidak berkecil hati. Mereka tetap menunggu dimulainya hiburan
ringgit purwo yang berakhir pada keesokan harinya. Dengan akhir prosesi upacara
berakir pula prosesi hiburan tersebut
BAB III
3.
Penutup.
3.1
Kesimpulan.
Keadaan
daerah Lodoyo saat itu berupa perbukitan yang sangat luas, juga lebat
dikelilingi beberapa sungai. Asal usul
nama Lodoyo itu di berikan oleh Pangeran Prabu yang membabat hutan Lodoyo itu.
Ini tidak sengaja terjadi karena di saat Sang Prabu istirahat didekat pohon low
dan pusaka yang di bawa di sangkutkat dipohon low karena pohon low tidak kuat
menahan beban yang ditimpa oleh Pusaka Gong
Kyai Pradah pohon itu menjadi doyong (miring) maka dari pohon itu disebutkan
low doyong. Serapan itu sekarang di katakan sebagai Lodoyo.
kebingangannya
Ki Ahmat Tariman memukul pusaka itu sebanyak tujuh kali yang mengangap akan
terdengan oleh Pangeran Prabu. Bukan pangeran prabu yang datang melaikan
segrombolan macan yang mengelilingi pusaka itu. Tetapi macan itu bukan mau
memakan Ki Ahmat Tariman melainkan untuk menujukan jalan untuk bertemu dengan
Pangeran Prabu, dari kejadian itu Pusaka itu dinamakan kyai Macan atau Kyai
Pradah.
Upacara
siraman kyai Pradah dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu bertepatan dengan
lahirnya Nabi mohammad atau maulud Nabi dan tanggal 1 Syawal bertepatan dengan
hari raya idul Fitri. Untuk penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara
diadakan secara besar-besaran, sedangkan untuk 1 Syawal dilaksananakan dengan
sederhana.
3.2
Saran
Di dalam makalah ini masih banyak
hal yang diperdebatan dikarnakan banyak cerita dari masyarkat yang berbeda.
3.3 Lampiran
Wawancara dengan guru
sekolah Dasar tentang asal usul nama Lodoyo (Sumiatri, S, Pd)
DAFTAR
PUASAKA
Santosa,
Edi. Cerita Rakyat Dari Blitar (Jawa
Timur). Jakarta, Gransindo
Poerbatjaraka, R, Ng, Riwayat Indonesia I, yayasan pembagunan;
Jakarta
Comments
Post a Comment