SEJARAH PEMIKIRAN BESAR (IDEOLOGI): MARHAENISME
Abstrak
Marhaenisme
merupakan suatu teori yang berkembang pada era kapitalisme berwujud
imperialisme dan kolonialisme di Indonesia pada abad ke-20, yang dirumuskan
oleh Soekarno sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan untuk
mempersatukan dan membebaskan rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya,
Marhaenisme memang mendapatkan peran dan posisi penting dalam masyarakat
Indonesia pada masa tersebut terutama saat dijadikan sebagai asas dan ideologi
suatu partai politik dan atau organisasi kemasyarakatan yang menentang sistem
kapitalisme. Pada masa Soekarno menjabat sebagai Presiden, Marhaenisme menjadi
istilah yang populer dan diterima di kalangan rakyat dan banyak kebijakan
Soekarno yang anti-kapitalisme diterapkan di Indonesia karena besarnya pengaruh
Marhaenisme dalam pemikiran-pemikiran dan konsepsi-konsepsi Soekarno.
Marhaenisme sifatnya mempersatukan rakyat dan juga oleh karena mampu
mengkritisi dan memberikan solusi yang sesuai dengan situasi dan kondisi atas
persoalan-persoalan masyarakat Indonesia pada saat itu.
Kata
Kunci: Marhaenisme, Soekarno, Rakyat
Sebuah paham apapun, yang hidup kapanpun dan
dimanapun berada, adalah sebuah konsep multidimensi yang hidup
dan mendarah daging di masyarakat yangmenganutnya. Sehingga apabila
kondisi tersebut telah tercapai, maka tentu saja tidak akan mudah paham /
ideologi tersebut akan dimakan jaman, karena paham tersebut telahlarut dalam
tata nilai dan norma pada sistem dan struktur sosial suatu masyarakat. Hal ini
telah dibuktikan bersama, dengan eksisnya hingga kini Ideologi Pancasila yang
telah disepakati bersama menjadi satu-satunya ideologi yang diterima.Bukankah
sudah berkal-kali Pancasila mengalami ujian dari berbaga pihak yang tidak
menerima dan akan menggantikanya dengan ideologi lainnya. Ketangguhan Pancasila
yang melekat jauh – jauh dalam diri sanubari Rakyat Indonesia,adalah karena Pancasila memiliki 3 dimensi
sebagai syarat utama sebuah Ideologi, yaituDimensi Realitas, Dimensi
Idelisme dan Dimensi Fleksibelitas(Dr. Alfin).
Namun
demikian dalam dinamika kehidupan bangsa ini diatas roda
waktu, terdapatbeberapa paham yang pernah hidup di Bumi Indonesia, yang
pernah mengalami masakeemasan dalam perguliran sejarah terbentuknya bangsa dan
negara ini. Tentu sajapaham tersebut oleh pendukungnya dinyatakan
tidak bertentangan dengan Dasar Ideologi Pancasila.Salah satu paham yang
pernah hidup membahana tersebut, adalah Marhaenisme sebagai paham kerakyatan
yang dikonsep oleh Soekarno sebagai pedoman
berpolitik yang lahir di tengah – tengah rakyat
Indonesia yang sangat miskin akibat tekanan daripenjajah Belanda.Tentang
makna sebenarnya dari paham Marhaenisme, bisa kita kaji pada
pernyataan Soekarno di Harian Fikiran Ra´ jat, 1
Juli 1932, Nomor I hal 2 – 3.
BahwaMarhaenisme adalah paham nasionalisme
yang memihak kepada setiap rakyat kecil (dicontohkan Pak Marhaen dari Bogor )
yang merdeka, tidak bekerja menjual tenaga dan
pikiranya kepada majikannya, tetapi berjuang demi
nasibnya sendiri. Figur seperti inilah yang dikategorikan sebagai
Marhenis menurut Soekarno. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa meskipun seseorang
memiliki profesi sebagaiburuh/tani
tetapi dia masih menjual tenaganya untuk kesejahteraan majikanya, berartidia
bukan Marhaenis meski dia seorang yang nasionalis. Disinilah letak
perbedaan antara Marhaenisme danproletar.
Lebih
jauh lagi Soekarno menyatakan bahwa yang menjadi label
seseorang Marhenis atau bukan, adalah bukan pada pakaian, status
sosialnya melainkan pada sikappendirian dan azasnya. Pernyataan Soekarno
tersebut dikemukakan karena sebagian Rakyat Indonesia masih menghubungkan
antara Marhenisme dengan Proletariat.
Latar belakang yang mendukung lahirnya Marhaenisme di Indonesia tidak bisa
dipisahkan begitu saja dengan kondisi masyarakat dunia pada umumnya yang kala itu
mengalami penderitaan hidup. Sebagai contoh kelas peasant yang tertindas oleh
diktatordari dinasti Louis sebelum meletusnya Revolusi Perancis dan nasib kaum
buruh dan tanidi bawah tekanan Kaisar Nicolae Tsar II sebelum terjadinya
Revolusi Bolshevic di Rusia7 November 1917.
Hampir di belahan bumi manapun, hingga abad ke-19 terdapat kelas manusia yang miskin,
tertindas, tidak memiliki daya kekuatan dan selalu dieksploitir oleh mereka
yang menggajinya, yang dalam bahasa sosiologi disebut dengan kaum borjuis,
sedangka nlapisan yang papa terekspoitir tersebut dinamakan kaum proletarian.
Proletariat (dari Latinproles) adalah istilah
yang digunakan untuk mengidentifikasikan kelas sosialrendah; anggota kelas
tersebut disebut proletarian.Awalnya istilah ini digunakan untuk
mendeskripsikan orang tanpa kekayaan; istilah inibiasanya digunakan untuk
menghina. Di era Roma Kuno penamaan ini memang sudah ada dan bukan hanya orang
tanpa kekayaan saja, melainkan juga kelas terbawahmasyarakat tersebut.Fenomena
sosologis ini telah merata terjadi di Benua Eropa dan Asia. Meskidemikian nasib
Bangsa Indonesiapun
tidak kalah menderitanya dengan Bangsa Bangsa Eropa.
Lantaran nafsu serakah Bangsa Belanda yang menafikan hak hidup dan menentukun
nasib sendiri dari bangsa kita.Dengan adanya ketertindasan bangsa-bangsa
tersebut diatas maka secara kodratimerekapun bahu membahu berjuang demi
penyelamatan kelasnya, demi kehidupan yang menjanjikan. Di tengah pergumulan
bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kebebasan untuk mendapatkan hak hidup,
lahirlah paham kerakyatan yang digagas olehSoekarno, yang kemudian diberi nama
Marhenisme.
Sejarah
Marhaenisme
Marhaenisme merupakan ajaran yang
lahir dari pemikiran Soekarno. Awalnya Suekarno menganut faham marxisme.
Pandangan Marxis Soekarno didasarkan pada ideologi Marxis Kautsky. Karl Kautsky
diakui oleh dunia internasional sebagai seorang penafsir ideologi Marxis.
Mula-mula Kautsky adalah seorang Marxis yang revolusioner, tetapi di kemudian
hari dengan tetap berpegang pada ajaran Marx dan Engels, ia menjadi seorang
sosialis evolusioner. Kemudian oleh Soekarno ideologi Marxisme evolusioner dari
Kautsky diubah menjadi suatu konsepnya sendiri untuk nasionalisme Indonesia
(Hartisekar & Abadi, 2001: 24).
Selain nama Kautsky, Soekarno juga
menjumpai nama Bakoenin. Ia tidak menyetujui anggapan kaum Marxis bahwa hanya
kaum proletariat industri daerah perkotaan yang bisa dijadikan pasukan
penggempur dalam suatu perjuangan revolusioner. Bakoenin juga berpendapat bahwa
tidak bisa disangkal jika kaum petani kecil merupakan sekutu yang mutlak
dibutuhkan dalam perjuangan ini (Hartisekar & Abadi, 2001: 24).
Kemudian oleh Soekarno, ide kedua
tokoh di atas disatukan. Ide-ide Kautsky dan Bakoenin oleh Soekarno digabung
menjadi ideologi yang ia sebut marhaenisme. Teori ini ia kembangkan ketika
sedang bersepeda di sekitar Bandung, ia bertemu dengan seorang petani yang
sedang bekerja di sawah. Soekarno bercakap-cakap dengannya dan waktu ia
bertanya milik siapakah sawah yang sedang dikerjakan petani ini, petani
menjawab bahwa itu tanah miliknya sendiri, begitu pula pacul yang dipakainya,
padi yang kelak dipanennya, dan gubuk sederhana di tepi sawah tadi. Ia tidak
mempekerjakan siapa-siapa, kata petani tadi, dan ia tidak bekerja untuk
siapa-siapa. Soekarno sadar bahwa petani kecil ini walaupun miskin sekali bisa
dianggap sebagai seorang pengusaha mandiri dan bahwa hal itu juga berlaku bagi
si penjual sate, si nelayan, orang yang mengangkut barang dengan dokarnya, dan
masih banyak ragamnya lagi. Ia menanyakan nama si petani. “Marhaen”, jawab dia.
Dengan demikian, waktu itu lahirlah nama untuk teori yang senantiasa mengilhami
ideologi politik Soekarno yang akan ia ajukan dengan meyakinkan sekali
(Giebels, 2001: 59).
“Berpuluh-puluh
buruh miskin kita tidak bekerja untuk orang lain dan orang lain tidak bekerja
untuk mereka. Bukannya manusia yang satu dihisap oleh manusia yang lain.
Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia di dalam praktek”.
Kata ini telah mendominasi
perdebatan politik di Indonesia sejak sekitar 1932. Sebelumnya, kata itu boleh
dikatakan tak dikenal sama sekali. Kalangan-kalangan politik untuk pertama
kalinya mendengar kata itu dalam pidato pembelaan Soekarno, di mana ia menjelaskan
bahwa masyarakat Indonesia, sebagai akibat dominasi imperialisme selama
berabad-abad, adalah khas masyarakat orang kecil. Soekarno telah memperoleh
peluang yang baik sekali untuk memberikan gambaran itu dalam sidang pengadilan,
di mana ia tidak hanya melukiskan kondisi mereka, akan tetapi juga menjelaskan
kepada majelis hakim bagaimana Partai Nasional harus berpedoman kepada mereka
yang merupakan rakyat (Dahm, 1987: 175).
Aneka ragam rakyat kecil perlu
dipersatukan, namun usaha untuk mempersatukan terbentur pada beberapa
persoalan, yakni persoalan kepentingan golongan, kepentingan rasa kedaerahan,
kepentingan agama, dan lain-lain. Oleh karena itu, sejak awal dalam gagasan
mempersatukan kaum marhaen itu harus mempunyai watak tertentu untuk mencapai tujuannya.
Watak itu adalah watak revolusioner. Yang dimaksud revolusioner adalah
menentang kapitalisme (Mulyana, 2008: 187).
Dalam pedoman pokok pelaksanaan
deklarasi Marhaenis ditegaskan oleh Soekarno, bahwa Marhaenisme bukan sekedar
teori politik, malainkan teori perjuangan. Asas Marhaenisme adalah perjuangan
menentang kolonialisme yang menguasai Indonesia melalui massa-aksi kaum
Proletar dan petani umtuk melawan kapitalisme dan feodalisme. Oleh karena itu,
secara tegas ditandaskan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan pada
keadaan dan kondisi Indonesia (Mulyana, 2008: 187-188).
Menurut tafsiran Sjahrir,
Marhaenisme berarti memusatkan perhatian pada massa dan kepada massa saja.
Semua golongan lainnya dianggap merintangi pergerakan kemerdekaan dan harus
dihindari sama sekali. Sesungguhnya bukan demikian maksud Soekarno, penemu
Marhaenisme. Dalam siding pengadilan ia tegas-tegas menyatakan keinginannya
untuk bekerjasama dengan kaum borjuis masih belum mempunyai kekuasaan, maka
pergerakan pertama-tama ditujukan kepada massa. Ia percaya bahwa dalam
Marhaenisme ia telah menemukan sebuah rumusan yang mencakup “praktis segenap
masyarakat Indonesia”. Karena Soekarno menganggap dirinya bukan sebagai juru
bicara satu golongan saja, melainkan seperti dikatakannya waktu itu, “sebagai
wakil segenap rakyat Indonesia” (Mulyana, 2008: 188).
Perkembangan
Marhaenisme
Setelah menguraikan bagaimana sejarah Marhaenisme
dilahirkan dan apa pengertian Marhaenisme, maka perlu dikaji juga
perkembangannya bagaimana Marhaenisme dapat dirumuskan sebagai suatu teori.
Artinya, Marhaenisme mengandung konsep-konsep yang bersumber dari
pemikiran-pemikiran Soekarno yang diperoleh dari suatu metode berpikir. Secara
teoritis, metode berpikir yang digunakan dalam Marhaenisme banyak dipengaruhi
oleh Marxist Theory. Namun tidak secara bulat atau penuh, Marxist
Theory diadopsi dalam teori Marhaenisme. Hal tersebut dipertegas oleh
Soekarno yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di
Indonesia sesuai dengan sejarah perkembangan masyarakatnya sendiri, serta
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Namun demikian, secara fundamental,
dalam teori Marhaenisme digunakan dialektika dan materialisme historis yang
merupakan dasar berpikir dalam wacana Marxist Theory. Seperti yang
dikatakan oleh Bung Karno mengenai landasan berpikir yang diajarkan oleh Karl
Marx tersebut bahwa: “maka berguna pulalah agaknya, jikalau disini kita
mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini ialah : ia mengadakan suatu
pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische
Dialectiek) (Awalil Rizky, dan
Nasyith Majidi,2008: 15). Dialektika adalah metode berpikir dalam
gerakan (Tan Malaka, Madilog. 1999: 123). Didalam dialektika terdapat
Tesis, Antitesis, Sintesis, sebagai rumusan dalam metodologisnya. Sedangkan
materialisme historis adalah hukum-hukum perkembangan dalam masyarakat. Artinya
materialisme historis menanyakan sebab-sebab pikiran dalam masyarakat berubah
(Soekarno, 1964: 21). Berdasarkan pengertian diatas, menurut Sutoro maka dalam
teori Marhaenisme terdapat dua elemen yang saling berhadapan dalam konteks
sejarah perkembangan masyarakat Indonesia di masa feodalisme, kapitalisme -
imperialisme, yakni : Elemen establishment adalah elemen yang menguasai
tesis dan menjalankan suatu stelsel/sistem sebagai kelangsungan tesis
(keadaan) tersebut. Elemen perubahan adalah elemen yang berada pada
struktur antitesis. Apabila tesis pertama telah gugur karena munculnya
antitesis, maka keadaan baru atau sintesis akan dikuasai oleh elemen perubahan
tersebut. Selanjutnya pada saat itu elemen perubahan menjadi elemen
establishment. Demikianlah proses semacam ini berjalan terus sampai
tercipta tesis terakhir yakni satu bentuk stelsel /sistem kemasyarakatan
yang terakhir dan sempurna. Proses perubahan dalam dialektika dan materialisme
historis diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Tesis
|
Anti tesis
|
Sintesis/Tesis Baru
|
Antitesis
|
Sintesis/Tesis Baru
|
Feodalisme
|
perubahan
|
Kapitalisme
|
perubahan
|
Sosialisme
|
I
|
II
|
III
|
Angka di dalam tabel menunjukkan
fase-fase yang akan dilalui oleh masyarakat Indonesia. Namun dalam teori
marhaenisme, dijelaskan bahwa tanpa melalui fase kapitalisme maka dapat dicapai
Sosialisme Indonesia. Teori ini kemudian disebut dengan fase “Sprong Theory"
yang dikatakan oleh Soekarno dengan pentahapan revolusi. Maka dengan
meloncati fase kapitalisme dapat langsung menuju sosialisme. Bung Karno membagi
tahapan revolusi sebagai berikut (Ir.Soekarno,1964: 55). Fase satu, nasional
demokratis. semua elemen progresif dipersatukan, semua potensi nasional
disatukan (Nation and Character Building) untuk menyingkirkan musuh dan
penghalang revolusi. Fase kedua, sosialisme demokratis. setelah semua
penghalang revolusi berhasil disingkirkan, maka selanjutnya adalah membangun
landasan dasar sosialisme. Landasan mental telah tercipta ( dengan Nation
and Character Building) maka dibangunkanlah landasan fisiknya. Dengan
berakhirnya fase kedua maka akan siap memasuki fase ketiga, yakni
Sosialisme Indonesia .
Ide yang
mendasari Soekarno dalam merumuskan Marhaenisme diawali dari penelusuran
historis yang dialami pada saat itu, yaitu kolonialisme Belanda yang menurut
Soekarno menyebabkan kesengsaraan rakyat dan kemajemukkan masyarakat Indonesia
dalam suku, budaya, agama maupun aliran-aliran politik (Ayub, Ranoh, 2000).
Dari penelusuran historis tersebut membuat Soekarno mencari cara bagaimana
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Mengenai banyaknya
aliran politik yang terjadi pada saat itu, Soekarno menawarkan jalan keluar
yaitu dengan ide menyatukan aliran-aliran tersebut dengan ide NASAKOM
(Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme). Soekarno menawarkan ide tersebut
dikarenakan masing-masing aliran memiliki tujuan yang sama namun berjuang
sendiri-sendiri. Berdasarkan dari penelusuran historis tersebut, Soekarno
berupaya untuK menggalang rasa sentimen kebangsaan rakyat Indonesia yang pada
saat itu tercerai berai. Dimulai dengan menawarkan ide tentang nasionalisme
serta merumuskan model nasionalisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Konsep nasionalisme Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan
(1882) dengan pendapatnya tentang bangsa. Menurut Renan bangsa adalah ada suatu
nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:
1.
Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu riwayat.
2.
Rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Bukan sekedar jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan batas-batas
negeri yang menjadi bangsa (Ir. Soekarno, 1964: 37).
Nasionalisme Soekarno berawal dari
suatu bangsa, yaitu rakyat. Pengertian
rakyat dalam konsep bangsa di atas adalah sekumpulan manusia yang secara
historis mempunyai kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk menjadi satu.
Penekanan dalam konsep nasionalisme Soekarno, yaitu tentang kesadaran akan
nasib. Apa yang diinginkan oleh Soekarno adalah adanya perubahan nasib dari
bangsa yang tertindas dan terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan memiliki harga
diri (Yulianto, Siget Wibowo, 2005).
Nasionalisme adalah suatu itikad,
suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.
Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya
sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam
perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita (Soekarno.1964: 3).
Di atas disebutkan bahwa
nasionalisme adalah keinsyafan (kesadaran) rakyat. Untuk menyadarkan dan
membangkitkan rakyat, Soekarno menyebutkan ada tiga cara yaitu:
1.
Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka punya masa lalu adalah masa lalu yang
indah.
2.
Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini adalah masa kini
yang gelap.
3.
Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri- seri dan terang,
serta cara mendatangkan masa depan yang penuh dengan janji-janji itu (Soekarno,
1956: 118)
Dari pengertian nasionalisme di
atas, Ruslan Abdulgani merumuskan tiga aspek nasionalisme Indonesia. Pertama,
aspek politik, bersifat menumbangkan dominasi politik bangsa asing untuk
menggantikannya dengan suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Kedua, aspek
sosial-politik,bersifat menghentikan eksploitasi ekonomi asing, dan membangun
masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural,
bersifat menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia yang disesuaikan
dengan perkembangan jaman.
Dari konsep nasionalisme tersebut,
Soekarno merasa perlu adanya ideologi yang mampu menjembatani antara ide
tentang negara yang diinginkan oleh rakyat Indonesia dengan realitas masyarakat
Indonesia (Wibowo, Yulianto. 2005). Nasionalisme Soekarno yang disebut sebagai
sosio-nasionalisme. Sosio- nasionalisme diambil dari kata sosio yang berarti
masyarakat dan nasionalisme yang berarti perasaan yang mengikat atas dasar
kesamaan asal-usul, rasa memiliki hubungan yang erat. Jadi sosio-nasionalisme
adalah nasionalisme masyarakat, nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh
masyarakat dan bertindak sesuai dengan keadaan masyarakat tersebut. Nasionalisme
Soekarno adalah nasionalisme yang sadar akan keadaan masyarakat yang menderita
karena penindasan imperialisme dan sadar akan keharusan menentang dan
meruntuhkannya agar dapat mendirikan suatu masyarakat baru yang adil dan makmur
tanpa penderitaan, serta bersandarkan atas azas perikemanusiaan
(Sastroamidjojo, Ali. 1961).
Sosio-nasionalisme ini merupakan
prinsip awal Marhaenisme. Konsep ini digunakan pada masa perjuangan dan prinsip
kedua adalah sosio-demokrasi di mana konsep ini digunakan setelah Indonesia merdeka,
sosio-demokrasi bukan hanya demokrasi politik yang menitikberatkan pada
kekuasaan kelembagaan melainkan juga mencakup bidang ekonomi yang menekankan
bahwa setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan perlakuan yang sama dalam
bidang ekonomi. Kedua prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling
berhubungan. Konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi kemudian dalam
kongres Partindo 1933 dijadikan sinonim dari istilah Marhaenisme. Soekarno
memberi penegasan terhadap konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, yakni
membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan kesengsaraan.
Sosio-nasionalisme adalah
nasionalisme marhaen, dan menolak setiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya
kepincangan masyarakat itu. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik
dan ekonomi – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi adalah timbul
karena sosio-nasionalisme (Soekarno, 1956: 175). Konsep Marhaenisme yang merupakan
sinonim dari konsep sosio – nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan dasar
sendi sistem pemerintahan yang bukan hanya memiliki ciri demokrasi dalam bidang
politik saja, melainkan juga mencakup sendi demokrasi ekonomi. Konsep ini
membedakan sistem demokrasi Barat yang hanya mencakup sendi politik saja dengan
sistem demokrasi yang diinginkan oleh Marhaenisme Soekarno.
Ide sentral dari Marhaenisme yang
mencakup aspek demokrasi politik dan ekonomi, sama halnya dengan ide sentral
yang terkandung dalam tema demokrasi, yaitu partisipasi rakyat. Dalam demokrasi
politik dituntut tersedianya ruang bagi rakyat untuk terlibat dan
berpartisipasi dalam sistem politik, sama halnya dengan demokrasi ekonomi,
Soekarno mensyaratkan dilibatkannya partisipasi rakyaat dalam sistem ekonomi.
Partisipasi rakyat yang terangkan dalam demokrasi sendiri telah memberikan arti
pada pemanfaatan secara optimal segenap potensi rakyat dalam segi politik
maupun segi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi yang bertujuan untuk
menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini dikelola dengan
sistem padat karya.
Marhaenisme sebagai teori perjuangan
dirumuskan oleh Soekarno untuk membebaskan rakyat Indonesia saat itu dari
penderitaan dan kesengsaraan akibat praktek feodalisme oleh bangsa sendiri dan
kapitalisme, imperialisme dan Selain itu, Partai Nasional Indonesia (PNI)
sebagai kekuatan politik di luar Soekarno yang menggunakan Marhaenisme sebagai
asasnya, telah berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1975. Hal
tersebut merupakan salah satu faktor penting mengapa istilah Marhaenisme
semakin jarang didengar kata maupun maknanya. Meskipun, sampai saat ini masih
ada beberapa Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang masih menggunakan
Marhaenisme sebagai asasnya seperti Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Gerakan
Rakyat Marhaen (GRM), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), namun
peranan beberapa Ormas tersebut dalam panggung politik masih lemah, maka apa
yang menjadi asas dan tujuan mereka pun kurang bergema dalam percaturan politik
di Indonesia. (Drs. Budi Mulia Bangun dalam Bagin, Pemahaman Saya Tentang
Ajaran Bung Karno. Jilid I. Jakarta : KKJ Berdikari, 2004, hal vii).
Sampai akhir tahun 1930 an, “kromo”
merupakan sebutan / uangkapan yang diperuntukkan bagi “orang kecil”. Tetapi,
sejak permulaan propaganda PKI istilah itu seringkali dipakai untuk mengacu
kepada kaum proletar. Ini membuat Soekarno mencari istilah baru. Salah satu
upaya terbesar Soekarno dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat
rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah
pencetusan gagasan marhaenisme. Bermula dari pertemuan pribadinya dengan petani
bernama Pak Marhaen. Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang
lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia. Dan juga merasa perlu untuk
memberikan peranan kepada mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang
bersifat kapitalis. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar (kaum yang
tidak mempunyai apa – apa dan hanya mempunyai /
mengandalkan tenaga saja) dalam gagasan Karl Marx, diharapkan menjadi komponen
utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan masyarakat baru
yang lebih adil. Dalam perkembangannya berikutnya, sebagaimana dikatakan oleh
Soekarno sendiri, Marhaenisme akan berkembang dan menjadi Sosialisme Indonesia
dalam praktik.
Dan rakyat Indonesia yang jembel itu
bukan satu juta, bukan dua juta , bukan tiga juta, hampir seluruh rakyat
Indonesia adalah rakyat jembel. Hampir seluruh rakyat Indonesia adalah Marhaen!
Yaitu rakyat jembel, ya buruh jembel, ya tani jembel, ya nelayan jembel, ya
tukang warung jembel, ya kusir jembel, ya sopir jembel, semuanya ini tercakup
dengan satu perkataan: Marhaen (Feith & Castles,1988: 143). Soekarno (2010:
125) menyatakan, bahwa pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang
mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja, oleh
karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum Kromo dan kaum Marhaen belaka. Di
dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib
Indonesia, di dalam organisasi kaum Kromo dan kaum Marhaen itu terutama harus
dicari tenaganya.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi
elitisme, ditegaskan bahwa Marhaenisme menolak tiap tindak borjuisme yang
menurut Soekarno merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat.
Soekarno berpendapat bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap
rakyat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mc Vey, bagi seorang Soekarno rakyat
merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang
nantinya ketika digerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia
(Wardaya S.J, 2006: 44).
Konsep
Marhaen sebagaimana dipahami oleh Soekarno itu mirip tetapi sekaligus berbeda
dengan konsep proletariatnya Marx. Sebagaimana kaum proletar, menurut Soekarno
kaum Marhaen itu miskin, berada di lapisan bawah masyarakat, dan jumlahnya
tidak hanya satu ataupun dua melaikan jutaan. Tetapi jelas ada perbedaannya
dengan kaum proletarnya yang dimaksud Marx, kaum Marhaen tidak bekerja untuk
orang lain dan memiliki alat produksinya sendiri, seperti cangkul dan tanah
garapan. Menurut Soekarno pengertian kaum Marhaen itu lebih luas daripada kaum
proletar, itu dikarena kaum Marhaen mencakup tidak hanya kaum buruh, melainkan juga
para petani dan setiap orang Indonesia yang miskin. Apapun persamaan dan
perbedaannya, sebenarnya inti dari pemahaman ini bagi Soekarno adalah upaya
mengusir setiap bentuk kapitalisme dan imperialisme.
Soekarno memasuki Partai Indonesia dan tidak lama setelah
itu Soekarno menerbitkan sebuah artikel, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi –
Ekonomi”, dimana ia memperingatkan kaum Marhaen untuk tidak meniru demokrasi
yang dipraktekkan di luar negeri, bentuk demokrasi seperti itu tidak akan
menjamin kesejahteraan kaum Marhaen, karena ia hanya memberikan hak-hak
politik, sementara di bidang ekonomi massa akan terus serba kekurangan.
Menurut
Soekarno dalam Dahm (1987: 181), untuk mencapai suatu masyarakat tanpa
kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen yang akan
memperjuangkannya untuk menjadi kaum revolusioner borjuis dengan kemerdekaan
sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi orang-orang revolusioner
sosial dan tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang,
bagi seluruh komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Soekarno memberikan
nama yang baru saja diciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme
Marhaen.
Marhaenisme sering dikenal / disebut bernada Marxis,
gagasan-gagasan di balik asas-asas Marhaenisme yaitu Sosio-nasionalisme dan
Sosio-demokrasi, hal tersebut perlu dianalisa untuk mengetahui kandungan Marxis
dalam Marhaenisme ciptaan Soekarno itu. “Marhaenisme adalah tiap-tiap orang
bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme”, demikianlah bunyi tesis
terakhir dari Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yang dikemukakan
dalam sebuah kongres Partai Indonesia dalam bulan Juli 1933, dan yang tidak
lama kemudian diuraikan lebih lanjut oleh Soekarno. Dengan begitu, maka
Marhaenis merupakan tiap orang Indonesia yang bersedia bekerjasama untuk
membangun sebuah tatanan social yang adil. Dengan demikian, tidak saja gagasan
tentang perjuangan kelas dihindari, tetapi juga individu-individu diberi
kebebasan untuk bekerjasama dalam perjuangan kaum miskin dan tertindas bagi
masa depan yang lebih baik, tanpa memandang kedudukan sosial dan ekonomi, ini
juga berlaku bahkan bagi golongan kaya.
Tahun 1933, Soekarno menulis dalam Fikiran Rakyat
mengenai Marhaen dan Proletar, yaitu suatu uraian mengenai keputusan konperensi
Partindo (Partai Indonesia) mengenai ideologi baru itu di Mataram
(Yogyakarta) yang dikemukakan dalam bentuk 9 dasar pokok Marhaen dan
Marhaenisme. Dalam artikel ini Soekarno berusaha menghubungkan Marhaenisme
dengan Marxisme, atau apa yang disebut Bernhard Dahm sebagai Marhaenist version
of Marxism.
Menurut Alfian (1978: 122-123) dasar pokok pertama
mengemukakan bahwa Marhaenisme berarti sosial-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Dasar pokok kedua menyatakan bahwa Marhaen mencakup kaum proletar, kaum tani,
dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu (dasar pokok ketiga) Marhaen lebih
luas dari proletar, karena ia mencakup segala macam kaum yang melarat. Tetapi
(dasar pokok kelima) di dalam perjuangan (Partindo) berkeyakinan bahwa kaum
proletar mengambil bagian yang besar sekali. Soekarno sengaja mengupas dasar
pokok kelima ini. Walaupun Marhaen menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan
proletar, katanya, tapi pada “punt” kelima ini diakui bahwa peranan kaum
proletar adalah penting sekali, dan ini disebutkannya sebagai segi modern dari
Marhaenisme sebab kaum proletarlah yang lebih hidup di dalam ideologi modern
yang anti-kolonialis dan anti-imperialis. Ideologi modern yang dimaksud tak
lain adalah Marxisme atau Komunisme.
Pengaruh
Marhaenisme Dalam Masyarakat
Marhen adalah
setiap bangsa Indonesia yang melarat atau lebih tepatnya dimelaratkan oleh
penjajahan bangsa asing. Sedangkan Marhenis adalah setiap pejuang dan setiap
patriot bangsa yang bersama-sama dengan kaum Marhaen berjuang untuk menumbangkan
penjajahan bangsa asing. Penajajahan tersebut meliputi kapitalisme,
imperialism, dan kolonialisme. Semuanya, baik Marhaen dan Marhaenis merupakan
bagian dari ajaran Marhaenisme yang dikembangkan oleh Soekarno. Seperti halnya
isme-isme yang lain, Marhaenisme bermakna sebagai pemersatu antara kaum yang
melarat dengan kaum yang berjuang untuk si melarat.
Marhaenisme mencakup seluruh
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Didalamnya terkandung dua esensi utama,
yaitu antara lain (Sukarno, 2004:24-27):
1. Sosio-nasionalisme
yaitu nasionalismenya bangsa Indonesia
2. Sosio-demokrasi
yaitu demokrasinya bangsa Indonesia
Banyak
orang mencoba mempelajari Marhaenisme, namun belum tentu ia menemukan apa
sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran tersebut. Mereka tidak atau mungkin
belum menemukan "benang merahnya". Dengan demikian maka sepertinya
mereka sekedar mempelajari secara lahir tentang perjuangan dan keberhasilan
Bung Karno di masa yang silam, karena mereka cuma mewarisi abunya sejarah bukan
apinya sejarah. Apabila setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian
adanya, hanya sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya
ajaran yang brillian itu kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun
kenang-kenangan yang indah). Marhaenisme sebagai salah satu ajaran Bung Karno
kemudian menjadi "out of date".
Pengaruh dari pemikiran Soekarno
tentang Marhaenisme yang paling dapat kita lihat adalah terdapat pada perumusan
Pancasila, Partai Nasional Indonesia, dan Organisasi mahasiswa GmnI.
a. Pancasila
Menyinggung
masalah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi dalam esensi Marhaenisme,
Pancasila merupakan salah satu bagian dari Marhaenisme, terdiri dari lima sila
yaitu:
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
5. Keadilan
Sosial Bagi Rakyat Indonesia
Jika diperas maka akan menjadi tri-sila yaitu:
1. Sosio-nasionalisme
2. Sosio-demokrasi
3. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dan selanjutnya tri-sila akan
menjadi eka-sila yaitu Gotong Royong (Poeger, 2003:18-19). Didalam Pancasila
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan uraian yang bersifat umum
yaitu suatu masyarakat yang menolak adanya kapitalisme dan feodalisme serta
melihat bahwa kebebasan bagi warga negara bukan hanya dalam masalah politik
saja melainkan juga masalah ekonomi (Saksono, 2007:98). Pemahaman ini nantinya
akan menjadi ajaran lain dari Bung Karno yaitu tentang Trisakti.
b. Partai
Nasional Indonesia
Dalam
Marhaenisme, baik antara Marhaen dan Marhaenis merupakan bagian yang tidak
dapat saling dipisahkan. Seperti halnya isme-isme yang lain, Marhaenisme
bermakna sebagai pemersatu antara kaum yang melarat dengan kaum yang berjuang
untuk si melarat. Berdirinya Partai Nasional Indonesia baik dimasa kolonial
maupun dimasa kemerdekaan, keduanya tetap konsekuen mengambil Marhaenisme
sebagai azas perjuangannya. Pada awal pendiriannya tujuan PNI adalah untuk
mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dengan cara perbaikan dalam bidang
politik, ekonomi, dan sosial. Dalam mencapai tujuannya tersebut PNI menggunakan
kekuatan bangsa Indonesia sendiri. Saat PNI dibubarkan dan berganti nama
menjadi Partindo, dalam kongres di kota Mataram (Yogyakarta) dihasilkan
sembilan dasar pokok Marhaen dan Marhaenisme (Alfian, 1978:122-123).
Sembilan dasar
tersebut kemudian menjadi azas perjuangan Partindo, Bung Karno menjelaskan
bahwa didalam perjuangan Marhaen itu, Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar
mengambil bagian penting. Maksudnya adalah cara perjuangan yang dilakukan merupakan
perjuangan yang tidak melamun, rasional, dan modern (Sukarno, 2004:14-15).
Karena kaum proletarlah yang dapat mengerti tentang sosio nasionalisme dan
sosio demokrasi didunia yang sedang tumbuh dalam kapitalisme. Setelah era
Partindo, PNI dimasa kemerdekaan jauh lebih berkembang. PNI menjelma menjadi
partai politik yang memiliki basis pendukung yang kuat dan dalam pemilu tahun
1955 masuk dalam empat besarr partai dengan suara mayoritas.
c. Organisasi
Mahasiswa GMNI
Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah sebuah organisasi
mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan mahasiswa yang
berlandaskan ajaran Marhaenisme.Marhaenisme diambil dari kata marhaen yang
berarti orang yang tertindas, marhaenis adalah orang-orang yang memperjuangkan
hak-hak orang yang tertindas, sedangkan marhaenisme sendiri adalah (ideologi)
paham tentang marhaen tersebut.GMNI dibentuk pada tanggal 22 Maret 1954 sebagai
hasil gabungan dari tiga organisasi mahasiswa, masing-masing Gerakan Mahasiswa Marhenis,
Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia.
Menurut tafsiran Sjahrir,
Marhaenisme berarti memusatkan perhatian pada massa dan kepada massa saja.
Semua golongan lainnya dianggap merintangi pergerakan kemerdekaan dan harus dihindari
sama sekali. Sesungguhnya bukan demikian maksud Soekarno, penemu Marhaenisme.
Dalam siding pengadilan ia tegas-tegas menyatakan keinginannya untuk
bekerjasama dengan kaum borjuis masih belum mempunyai kekuasaan, maka
pergerakan pertama-tama ditujukan kepada massa. Ia percaya bahwa dalam
Marhaenisme ia telah menemukan sebuah rumusan yang mencakup “praktis segenap
masyarakat Indonesia”. Karena Soekarno menganggap dirinya bukan sebagai juru
bicara satu golongan saja, melainkan seperti dikatakannya waktu itu, “sebagai
wakil segenap rakyat Indonesia”.
Marhaenisme dapat dirumuskan sebagai suatu teori.
Artinya, Marhaenisme mengandung konsep-konsep yang bersumber dari
pemikiran-pemikiran Soekarno yang diperoleh dari suatu metode berpikir. Secara
teoritis, metode berpikir yang digunakan dalam Marhaenisme banyak dipengaruhi
oleh Marxist Theory. Namun tidak secara bulat atau penuh, Marxist
Theory diadopsi dalam teori Marhaenisme. Hal tersebut dipertegas oleh
Soekarno yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di
Indonesia sesuai dengan sejarah perkembangan masyarakatnya sendiri, serta
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Pengaruh dari pemikiran Soekarno
tentang Marhaenisme yang paling dapat kita lihat adalah terdapat pada perumusan
Pancasila, Partai Nasional Indonesia, dan Organisasi mahasiswa GmnI.
Menyinggung masalah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi dalam esensi
Marhaenisme, Pancasila merupakan salah satu bagian dari Marhaenisme. Dalam Marhaenisme, baik
antara Marhaen dan Marhaenis merupakan bagian yang tidak dapat saling
dipisahkan. Seperti halnya isme-isme yang lain, Marhaenisme bermakna sebagai
pemersatu antara kaum yang melarat dengan kaum yang berjuang untuk si melarat.
Berdirinya Partai Nasional Indonesia baik dimasa kolonial maupun dimasa
kemerdekaan, keduanya tetap konsekuen mengambil Marhaenisme sebagai azas
perjuangannya. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah
sebuah organisasi mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan
mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme.
Daftar Rujukan
Alfian.
1987. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Dahm,
Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.
Faith, Herbert & Castles, Lance
(Eds). 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Giebels,
L. 2001. Soekarno: Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.
Hartisekar,
M. & Isjani, A. A. 2001. Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era
Reformasi. Jakarta: Pustaka Sarana Kajian.
Mulyana,
Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan.
Yogyakarta: LKiS.
Poeger, G. Dan A.S. Rasmadi. 2003. Bung Karno dan Al-Quran. Jakarta: Vision
3.
Saksono,
I.G. 2007. Marhaenisme Bung Karno
(Marxisme Ala Indonesia). Yogyakarta: Ardana Media.
Sastroamidjojo,
Ali. 1961. Dasar-dasar Pokok Marhaenisme. Jakarta: Partai Nasional Indonesia.
Soekarno, 2004. Pokok-Pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung
Karno. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soekarno.
2010. Indonesia Menggugat. Jakarta: Fraksi PDI-Perjuangan DPR-RI.
Wardaya SJ, Baskara T. 2006. Bung
Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G 30 S.
Yogyakarta: Galang Press.
Wibowo,
Yulianto. 2005. Marhaenisme; Idiologi perjuangan Soekarno. Yogyakarta: Buana
Pustaka.
Comments
Post a Comment