PENINGGALAN-PENINGGALAN MASA NEOLITIKUM




PENINGGALAN-PENINGGALAN MASA NEOLITIKUM

3.1 KAPAK PERSEGI

Nama kapak persegi itu berasal dari von Heine Geldern, berdasarkan kepada penampang alang dari alat-alatnya, yang berupa persegi panajang atau juga yang berebentuk trapesium. Yang dimaksudkan dengan kapak persegi itu bukan hanya kapak saja, tapi banyak lagi alat-alat lainnya dari berbagai ukuran dan berbagai keperluan: yang besar, yaitu beling atau pacul, dan yang kecil yaitu tarah, yang tentunya digunakan untuk mengerjakan kayu.
Kapak-kapak persegi ini di Indonesia terutama sekali didapatkan di Sumater, Jawa dan Bali. Dibagian timur negeri kita, ialah Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan juga Kalimantan, ada pula ditemukan, tapi tidak begitu banyak, lagi pula lebih kasar dan lebih buruk pembuatannya(Soekmono, 1973 : 50). Sepereti Malaysia Barat dan Hindia Belakang banyak didapatkan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa arus kebudayaan kapak persegi itu datangnya di negeri kita dari daratan Asia melalui jalan barat.
Sebagai bahan untuk kapak-kapak itu kebanyakan dipergunakan batu api dan ada juga yang di buat dari chalcheldon. Pembuatan kapak-kapak dari batu apai rupanya terpusat dibeberapa pabrik dan dari sini di angkut ke tempat-tempat lain untuk di perjual belikan. Hal ini dapat kita ketahui dari kenyataan bahwa kapak-kapak itu ditemukan di tempat-tempat yang sama sekali tidak menghasilkan batu api yang diperlukan sebagai bahan, sedangkan di pusat pembuatannya diteukan banyak sekali kapak persegi yang semuanya telah diberi bentuk tetapi masih kasar teksturnya, belum dihaluskan dan diasah. Rupanya pekerjaan mengasah dilakukan sendiri oleh penggunanya. Pabrik-pabrik kapak persegi itu antara lain ditemukan di dekat Lahat (Palembang) , di dekat kota-kota Bogor, Sukabumi, Kawarang dan Tasikmalaya (Jawa Barat), di daerah Pacitan, Madiun dan di lereng selatan Gunung Ijen.
Rupanya barang-barang yang sangat indah itu memang tidak pernah dimaksudkan sebagai alat, melainkan dianggap sangat brharga sebagai tanda kebesaran atau sebagai alat upacara. Sampai sekarang banyak golongan-golongan  bangsa yang masih mempunyai alat-alat dan sejata yang dipandang suci sebagai pusaka dan hanya digunakan pada upacara-upacara yang tertentu saja. Mungkin pula kapak-kapak neolithikum yang indah dan dibuat dari batu yang jarang diperoleh itu disimpan sebagai jimat. Sampai sekarang masih banyak orang yang mempunyai kepercayaan akan tenaga gaib suatu benda batu indah, seperti saja batu cincin.
Dan ada pula suku-suku bangsa yang menggunakan batu-batu indah itu sebagai alat penukaran (barter), sebab uang belum mereka kenal. Semacam kapak persegi pula ialah yang disebut kapak bahu. Bentuknya boleh dikatakan sama, hanya dibagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina, terus ke barat samapi sungai Gangga, tetapi anehnya batas selatannya aialah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan lain perkataan : di sebelah selatan batas ini tidak ada ditemukan kapak bahu. Jadi neolithikum Indonesia hanya beberapa daerah yang mengenalnya yaitu di Minahasa (Soekmono, 1973 : 53).

3.2 KAPAK LONJONG

            Nama kapak lonjong itu didasarkan atas penampang-alangnya yang berbentuk lonjong. Bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong ini sering juga dinamakan Neolithikum Papua, karena terutama sekali didapatkannya di Irian.
            Kapak-kapak lonjong itu mempunyai pula berbagai ukuran. Yang besar biasa dinamakan Walzenbeil dan yang kecil disebut Kleinbeil. Kleinbeil ini ditemukan di daerah antara daerah kapak persegi dan daerah Walzenbeil ialah kepulauan Tanibar, Seram dan sekitarnya. Di antara kapak-kapak lonjong itu ada pula yang rupannya dipergunakan untuk perkakas biasa, dan dikerjakan lebih halus pula (Soekmono,1973 : 53).
            Daerah pusat kapak lonjong di kepulaun Irian. Tetapi kapak itu juga ditemukan di Seram, Tanimbar, Leti, Minahaa dan Serawak. Di Tiongkok dan Jepang banyak juga ditemukan Walzenbeil, pun di daerah Assam dan Birma Utara, di mana didapatkan pula Kleinbeil. Tetapi di bagian selatan Hindia Belakang dan Malaka kapak itu asing samasekali. Hal ini menyimpukan bahwa jalan persebaran kebudayaan kapak lonjong itu lain daripada jalan yang ditempuh oleh kapak persegi, ialah dari daratan Asia ke Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa terus ke timur ke Irian. Dari Irian daerah persebaran itu meluas samapi di kepulauan Melanisia (Soekmono, 1973 : 54).

3.3 PERHIASAN

            Terutama di Jawa ditemukan gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar. Dan banyak pula yang belum selesai pembuatannya, dapat kita mengetahui dngan jelas bagaimana cara mengerjakannya. Pertama batu itu dipukul-pukul sehingga diperoleh bentuk bulat gepeng. Kemudian kedua sisi yang rata itu dicekungkan dengan jalan memukul pula, sampai akhirnya kedua cekungan itu bertemu menjadi sebuah lobang. Dengan jalan menggosok dan mengasah maka diperolehlah nanti gelang yang dikehendaki. Gelang itu dari dalam halus rata dan dari luar lengkung sisinya (Soekmono, 1973 : 54).
            Cara lain yang dapat kita ketahui dari gelang yang lain. Di sini tampak nyata bahwa pembuatan lobangnya yaitu dengan gurdi. Batu yang gepeng itu digurdi dari kedua sisi yang rata dengan sebuah gurdi dari bambu . Bambu ini denga sutas tali dan sebilah bambu lainnya diputar diatas muka batu yang terlebih dahulu telah diberi air dan pasir. Gurdi semacam ini diberbagai tempat di Indonesia masih ada. Kecuali gelang ditemukan pula alat-alat perhiasan lainnya, seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Bagaimana menggurdirnya biji-biji kalung itu tidak dapat diketahui, sebab lobang-nya amat kecil dan tentu tidak dapat diperoleh dengan gurdi bamboo. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik (Soekmono, 1973 : 55).


-          PAKAIAN
            Di Kalimanatan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kita ketahui bahwa sampai kini ada beberapa suku bangsa di negeri kita yang masih menggunakan kulit kayu untuk bermacam-macam keperluan, seperti untuk pakain (suku Toraja dan suku Dayak)  dan untuk membuat kertas (dluwang Ponorogo) . Dapat kita mengambil kesimpulan bahwa alat-alat pemukul kulut kayu itu menunjukkan bahwa orang-orang neolithikum sudah berpakaian.
            Kecuali membuat pakain dari kulit kayu mereka sudah pandai pula menenun tekstil yang agak halus. Tekstil itu tidak tahan lama, sehingga tidak ada bekas-bekasnya ditemukan lagi. Tetapi anehnya dalam hal ini kita memperoleh petunjuk yang nyata dari periuk belanga yang berasal dari jaman itu dan memakai hiasan tenunan (Soekmono, 1973 : 56).

-          TEMBIKAR
            Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar (periuk belanga) terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra. Hanya yang ditemukan itu semuanya dalam bentuk pecahan-pecahan yang sangat kecilnya, sehingga tidak mungkin kita ketahui tentang bentuk benda seluruhnya. Hanya jelas dapat terlihat sudah dihiasi gambar-gambar yang diperoleh dengan menekankan sesuatu benda kepada tanahnya sewaktu belum kering betul (sebelum dikeringkan di panaskan matahari atau dibakar) .
            Dari penyelidikan pecahan-pecahan barang tembikar di berbagai tempat ternyata bahwa caranya membuat barang-barang tembikar itu belum pakai pelarikan (roda landasan) . Setelah bentuk yang dikehendaki diperoleh dengan tangan, maka bendanya dihauskan dari luar dan dalam dengan sebuah batu yang licin. Kemudian bagian luarnya dipukul-pukul dengan sebuah papan. Jika papan itu diberi hiasa berupa ukiran atau garis-garis, maka gambar-gambar itu tertera pada tanah yang maih basah itu.  Dengan demiian dapat diketahui bahwa cap yang dipergunakan dalah tali, anyaman bamboo, kerang atau tekstil (cap tekstil inilah yang member petunjuk akan telah dikenalnya kepandaian menenun) .
            Dari bukit-bukit pasir di pantai selatan Jawa anatar Yogja dan Pacitan terdapat banyak pecahan-pecahan periuk belanga yang mempunyai cap tekstil yang sama halusnya dengan kain-kain Sumba sekarang. Maka nyatalah bahwa tenunan neolithikum memang susah tinggi juga tingkatnya.
            Di Melolo (Sumba) banyak ditemukan periuk belanga yang ternaya berisi tulang-tulang manusia. Terang bahwa dalam hal ini ada soal penguburan yang serup dengan yang masih juga terdapat pada berbagai bangsa sekarang, ialh bahwa mula-mula mayat itu ditanam dan kemudian setelah beberapa waktu tulang-tulangnya dikumpulkan untuk ditanam kedua kalinya dengan disertai berbagai upacara (Soekmono, 1973 : 57).

3.4 ALAT-ALAT OBSIDIAN

`Alat-alat yang khusus dibuat dari batu kecubung (obsidian) berkembang sangat terbatas di beberapa tempat saja seperti di Jambi, dekat danau Kerinci, di sekitar Bekasi danau Bandung, di Leles (sekitar danau Cangkuang) dekat Garut, di Leuwilliang (Bogor), sekitar danau Tondano (Minahasa), dan Camplong ( Timor Barat).
Teknik  penyiapan alat-alat obsidian Ulu Tiangko menunjukkan teknik penyiapan yang umum dikenal pada masa tersebut. Heekeren lebih condong mencari persamaan dengan alat obsidian dari sekitar unsur-unsur alat serpih.  Ia menempatkan alat obsidian dari Jambi itu dalam masa berburu tungkat lanjut sebagai rumpun serpih bilah.
Di flores Barat hanya sedikit kita temukan alat obsidian. Dalam penyelidikan di Liang di Liang Rundung yang dilakukan Heekeren pada tahun 1952, ditemukan lebih banyak alat serpih yang dibuat dari batu rijang, kalsedon, dan jaspis. Juga ditemukan sisa-sisa hewan dan tulang-tulang manusia yang telah rapuh.
Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa baik di Ulu Tiongko maupun di Liang Rundung tidak pernah ditemukan sisa-sisa gerabah. Hal ini memperkuat pendapat Heine geldern dan Heekeren yang menganggap alat obsidian dari Jambi dan Flores itu sebagai tradisi kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan  dan tingkat lanjut. Sisa-sisa tulang manusia dari Ulu Tiangko memberikan sedikit petunjuk bahwa manusia itu bertubuh kecil, sedangkan ciri-ciri petunjuk ras yang diwakili tidak jelas. Selain itu, ditemukan sisa-sisa makanan mereka berupa siput dan kerang (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 2010 : 223).

3.5 MATA PANAH

Sebagaimana halnya dengan alat-alat obsidian, alat ini juga mencerminkan penghidupan berburu. Ada dua tempat penemuan yang penting yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Tempat-tempat penemuan mata panah di Jawa Timur yaitu Sampung (Gua Lawa), daerah Tuban (Gua Gede dan Kandang) dan gua-gua kecil di bukit-bukit dekat Tuban, di Besuki (Gua Petpuruh), Bojonegoro (Gua Kramat dan Lawang), Punung (tersebar di permukaan bukit-bukit kecil di Song Agung, Sembungan, Gunung Galuh), dan lain-lain.
Gua-gua yang disebutkan tadi, selain menghasilkan mata panah juga merupakan tempat-tempat penting yang dapat dihubungkan dengan kehidupan perburuan tingkat lanjut yang menggunakan alat-alat tulang. Lapisan budaya dari beberapa gua yang pernah diselidiki tidak memperlihatkan susunan kronologis.




Di Gua Lawa, lapisan yang menghasilkan anak panah terletak di bawah lapisan yang menghasilkan alat-alat tulang dan tanduk, sedangkan lapisan teratas kembalimenampilkan lapisan beliung persegi bercampur dengan alat-alat dari logam. Bersama-sama dengan mata panah ditemukan beberapa pecahan gerabah berhias pola tali. Gua-gua di Bojonegoro, Tuban, dan Besuki menghasilkan mata panah yang letaknya selapis dengan alat-alat tulang tipe Sampung.
Bentuk mata panah di Jawa Timur pada umumnya segitiga dengan bagian basis bersayap dan cekung. Ada pula yang cembung atau kadang-kadang rata tidak bersayap. Ukuran panjang antara 3-6 cm, lebar basis 2-3 cm, dengan ketebalan rata-rata 1 cm. Bahan-bahannya dari batu gamping. Seluruh permukaannya dikerjakan dengan amat teliti. Di bagian ujung dan tajamannya ditarah dari dua arah sehingga menghasilkan tajaman yang bergerigi tau berliku-liku tajam.
Punung yang terletak di sebelah barat laut Pacitan itu merupakan pusat bengkel mata panah di Jawa Timur. Besar kemungkinan bahwa mata panah yang ditemukan dibeberapa gua yang telah disebut di atas didatangkan dari Punung.
Walaupun demikian, dapat diketahui bahwa umumnya mata panah ditemukan di lapisan teratas sama-sama dengan gerabah, alat-alat serpih, dan alat dari kulit kerang (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 2010 : 226).

3.6 GERABAH

Penyelidikan arkeologi membuktikan bahwa benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam. Bukti-bukti tersebut berasal dari Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi), sekitar bekas Danau Bandung, Timor Leste, dan Poso (Minahasa). Dari temuan-temuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa teknik pembuatan gerabah dari masa bercocok tanam masih sangat sederhana.
Perlu dicatat bahwa  teknologi pembuatan gerabah di Indonesia pada masa bercocok tanam tingkatnya tidak setinggi teknologiyang dikenali di Daratan Asia Tenggara misalnya Malaysia, Muang Thai, Cina, Taiwan, dan Jepang. Di Indonesia penggunaan roda pemutar dan tatap batu berkembang lebih pesat dalam masa perundagian, bahkan di beberapa tempat terus dilanjutkan hingga sekarang.
Dari data yang terkumpul, dapat kita ketahui tentang bentuk –bentuk periuk yang umumnya kebulat-bulatan dengan tepian melipat melipat ke luar. Dari bentuk semacam itu dapat pula kita duga  bahwa gerabah itu dibuat oleh sekelompok masyarakat  bertani yang selalu terikat dalam hubungan sosial-ekonomi  dan kegiatan ritual.
Selain kreweng, ditemukan juga juga beliung-beliung persegi, terutama dari penggalian di bagian puncak. Di luar penggalian, pecahan-pecahan beliung dalam jumlah yang cukup banyak, yang berserakan di daerah bagian puncak hingga ke lereng-lereng daratan. Perlu kita sebutkan bahwa di bagian kaki dari lereng-lereng  itu ditemukan sejumlah batu asahan yang bentuknya persegi atau kadang-kadang berfaset. Juga ditemukan potongan gelang dan manik-manik dari gelas yang berasal dari luar penggalian.
Gerabah yang dibuat di tempat itu berupa periuk, cawan, dan pedupan (cawan berkaki). Dari temuan-temuan gerabah pada umumnya fragmentaris itu, kita kenal dua macam jenis periuk yang memiliki tepian melekuk dan melipat keluar. Periuk jenis pertama ditandai oleh bentuk badan yang kebulat-bulatan, dan yang lain ialah jenis periuk dengan badan bergigir. Bentuk pertama ditemukan lebih banyak dari pada bentuk yang kedua. Kedua jenis periuk ini tidak berhias serta mempunyai alas cekung. Jenis cawan ada tiga macam, yaitu cawan beralas bulat denga tepian langsung yang agak melengkung ke dalam, cawan beralas rata dengan tepian langsung, dan cawan jenis pertama yang diberi kakai sehingga bentuknya seperti pedupaan. Ketiga jenis cawan tersebut tidak ada yang berhias (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 2010 : 231).

3.7 ALAT PEMUKUL KULIT KAYU

Beberapa dari alat pukul kulit kayu yang terbuat dari batu ditemukan di Kalimantan (Ampah) dan Sulawesi Tengah (Kalumpang, Minanga Sipakka, Langkoka, dan Poso). Sebuah tipe dari dari alat ini berbentuk persegi panjang (panjang lebih kurang 20 cm) dan terdiri dari gagang dan bagian pemukul. Bagian untuk memukul kulit kayu ini dibuat jalur-jalur cekung yang sejajar. Alat yang ditemukan di Ampah dan Minanga Sipakka termasuk tipe tersebut, yang ujung bagian pemukulnya meruncing ke atas menyerupai tanduk(Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 2010 : 235). Sebuah tipe lain ditemukan di Kalumpang. Tipe ini berbentukpersegi panjang (panjang lebih kurang 10 cm) serta tidak bergagang. Permukaan bawahnya sebagai bagian untuk memukul berjalur-jalur cekung sejajar. Bagian sisinya dicekungkan untuk memudahkan pengikatan pada tangkai rotan. Haris Sukendar menemukan tipe ini ditemukan di dalam dan di luar kalamba pada waktu ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1976. Pemukul kulit kayu berbentuk, selain ditemukan di Kalimantan dan Sulawesi, dan juga di Kepulauan Filipina.



Comments

Popular posts from this blog

BERKEMBANGNYA PAN ISLAMISME SEBAGAI GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI DUNIA DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN LIBERALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA

IMPLEMENTASI PEMIKIRAN DEMOKRASI PADA PEMERINTAHAN ORDE BARU TAHUN 1966-1998